Lulabi Tua: Lagu Kelam tentang Luka
Lagu “Lulabi Tua” karya Pandarra menyoroti perjalanan emosional yang mendalam, penuh dengan nuansa kegelapan dan kebencian
Lagu “Lulabi Tua” karya Pandarra menyoroti perjalanan emosional yang mendalam, penuh dengan nuansa kegelapan dan kebencian. Liriknya bercerita tentang seseorang yang terjebak dalam pergulatan batin, menghadapi luka dan dendam yang terus mengintai dalam bentuk yang hampir mistis. Lagu ini, dengan nuansa yang suram dan lirik yang tajam, menyingkapkan sisi lain dari emosi manusia yang jarang dibicarakan—sebuah perlawanan terhadap kekuatan destruktif yang mencoba merenggut cahaya kehidupan.
Lirik lagu:
Lengang senyap
Aku masih terjaga melahap malam
Tetiba saja di kesunyian engkau datang
Mengantar luka dengan dongeng yang kau karang
Kau ingin aku terpejam
Tapi bukan tertidur yang kau harap
(Hmm)
Hitam pekat
Kabut menggelayut di kepalamu
Kau belah dadaku menjejalinya batu
Berangsur-angsur hingga ku terbujur kaku
Kau dengan riang, gempita merangkai bunga
Mengharapkan kematianku
Kau hembus benci (kau hembus benci)
Memercik api (memercik api)
Merenggut paksa cahaya kecil yang setia menerangi
Tumpahkan dendam (tumpahkan dendam)
Geram mengancam (geram mengancam)
Melantun sumbang nyanyian usang
Sedang aku menoreh darah keringat
Dan air mata
Kau meracau
Sebar mantra kebencian
Bagiku hanya lulabi tua yang tak buatku terlelap
Dan hari ini kupastikan
Tak akan ada duka
Selain ocehmu
Kau hembus benci
Memercik api
Merenggut paksa cahaya kecil yang setia menerangi
Tumpahkan dendam
Geram mengancam
Melantun sumbang nyanyian usang
Sedang aku menoreh darah
Kau hembus benci
Memercik api
Merenggut paksa cahaya kecil yang setia menerangi
Tumpahkan dendam
Geram mengancam
Melantun sumbang nyanyian usang
Sedang aku menoreh darah keringat
Dan air mata
Terlalu dini
Aku tetap terjaga
Menyongsong pagi
.....
Kesunyian dan Luka
Lagu ini dibuka dengan kesunyian yang menghantui: “Lengang senyap, aku masih terjaga melahap malam.” Pandarra menciptakan suasana yang seolah-olah pendengarnya sedang terjebak di antara waktu, di mana malam yang tak berujung menelan seluruh keberadaan. Kesunyian ini tiba-tiba diinterupsi oleh kehadiran yang mengancam: “Tetiba saja di kesunyian engkau datang, mengantar luka dengan dongeng yang kau karang.” Sosok ini, entah metafora dari rasa sakit atau kebencian, datang membawa cerita palsu yang hanya memperparah luka yang ada.
Kegelapan yang Menyusup
Lirik “Hitam pekat, kabut menggelayut di kepalamu, kau belah dadaku menjejalinya batu” memperlihatkan bagaimana sosok ini meresap ke dalam pikiran dan jiwa, menjejalkan lebih banyak penderitaan. Batu, dalam hal ini, bisa diartikan sebagai simbol beban yang ditanamkan ke dalam hati. Proses ini dilakukan secara perlahan, hingga sang narator akhirnya terbujur kaku, simbolisasi dari rasa kehilangan kendali dan kepasrahan pada rasa sakit.
Pandarra mempertegas suasana kelam ini dengan baris yang penuh ironi: “Kau dengan riang, gempita merangkai bunga, mengharapkan kematianku.” Keceriaan sosok yang menyebabkan rasa sakit ini memperlihatkan bagaimana kebencian dan penderitaan bisa menjadi sesuatu yang dinikmati oleh beberapa pihak, sementara korban dibiarkan dalam kehancuran.
Lulabi Kebencian
Lagu ini menggunakan metafora lulabi atau lagu pengantar tidur untuk menggambarkan kebencian yang terus-menerus dilantunkan oleh sosok antagonis. “Kau hembus benci, memercik api, merenggut paksa cahaya kecil yang setia menerangi” menunjukkan bagaimana kebencian ini perlahan-lahan merusak terang yang ada dalam diri sang narator. Cahaya kecil di sini melambangkan harapan atau kehidupan yang masih bertahan, tetapi semakin dipadamkan oleh dendam yang dilemparkan oleh sosok tersebut.
Meski demikian, sang narator tidak menyerah begitu saja. Dalam lirik “Bagiku hanya lulabi tua yang tak buatku terlelap, dan hari ini kupastikan tak akan ada duka selain ocehmu” terlihat sikap perlawanan. Lulabi tua ini, meski bernada kebencian dan kehancuran, tidak akan mampu menundukkan sang narator. Ia tetap terjaga, menolak untuk menyerah pada penderitaan yang ditimbulkan oleh kebencian tersebut.
Penutup: Pertarungan Melawan Gelap
Lagu “Lulabi Tua” dari Pandarra adalah lagu yang penuh dengan kegelapan, namun di dalamnya juga terdapat perlawanan dan harapan. Meski kebencian dan dendam mencoba memadamkan cahaya kecil yang ada, narator dalam lagu ini tetap bertahan, menolak untuk dikuasai oleh kebencian tersebut. Lirik yang tajam dan penuh metafora menciptakan suasana yang intens dan emosional, membuat pendengar ikut merasakan pergulatan batin sang narator.
Dengan musik yang mendukung nuansa suram dan lirik yang penuh makna, Pandarra sekali lagi menunjukkan kemampuan luar biasa dalam menyampaikan cerita yang mendalam melalui musik. “Lulabi Tua” bukan hanya sekadar lagu, tetapi sebuah refleksi tentang bagaimana manusia menghadapi rasa sakit dan kebencian, dan bagaimana kita bisa tetap terjaga meski dihadapkan pada lulabi kebencian yang berusaha menidurkan kita.
What's Your Reaction?